Wednesday, September 28, 2011

Anak PKI itu Gagal Menjadi Bupati - Kisah Nyata

Malam itu, kalau tidak salah tanggal 21 November 1965, ada empat orang petugas kecamatan, di antaranya berpakaian aparat keamanan (militer), datang ke rumah dan langsung menyeret ayah saya seperti kambing mau disembelih. Saya yang ketika itu baru duduk di klas IV Sekolah Dasar hanya dapat menyaksikan dari balik pintu. Saya mendengar suara buk....buk....buk...... Rupanya ayah saya dihujani pukulan dan tendangan setelah sebelumnya diborgol sambil terus diseret entah di bawa ke mana, hilang dalam kegelapan malam...

Karnawi Ikhsan mengisahkan kembali kejadian 42 tahun lalu yang dialaminya itu sambil berurai airmata. Ketika itu dia hanya tahu, Said, ayahnya itu, adalah seorang petani utun yang buta huruf. Tetapi bagaimana bisa dituduh sebagai orang PKI? Dituduh sebagai aktivis BTI? Bukankah untuk berorganisasi harus bisa baca tulis? Sedangkan dia hanya bisa mengaji, sholat dan mencangkul di sawah?

Ketika saya mencoba melihat kejadian malam itu, saya dibentak-bentak oleh mereka yang membawa ayah saya agar masuk ke kamar, tidak boleh melihat dan tidak boleh tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. sambung Ikhsan sambil terus bertanya-tanya, kenapa ayahnya malam itu diperlakukan seperti maling.

Tanda tanya di hati Ikhsan yang lahir di desa Kalijoyo Kecamatan Kajen pada 10 Oktober 1955 itu ternyata tinggal tanda tanya. Tak ada yang bisa menjawab. Bahkan akhirnya dirinya sendiri juga mendapat stempel sebagai anak pki. Itu diketahuinya ketika sang ayah sudah berada dalam tempat penahanan sementara di sebuah gedung dekat kantor Kawedanan Kajen, tak jauh dari bangunan serba hitam yang dikenal sebagai gudang garam. Untuk menuju ke sekolah dari rumahnya, setiap hari dia harus melewati tempat di mana ayahnya ditahan, berjalan lambat sambil matanya mencari kalau-kalau bisa melihat ayah yang dicintainya.

Ketika itulah, kebiasaan saya dianggap aneh dan oleh teman-teman sekolah saya dikatakan saya ini anak pki. Sejak itu mereka ramai-ramai menuding saya anak pki ... anak pki ...tutur Ikhsan kembali.

Empat bulan setelah kejadian itu, Ikhsan mendapat kabar bahwa ayahnya sudah berada di rumah sakit Kraton kota Pekalongan. Dan dia mencoba mencarinya ke sana. Bertemu. Dia bingung dan harus mengusap matanya beberapa kali. Itukah ayahnya? Sebab Ikhsan tidak melihat sosok manusia hidup di depannya. Hanya tulang berbalut kulit seperti jerangkong, mukanya persis tengkorak, matanya cekung ke dalam. Dia hanya tahu kalau sososk di depannya masih hidup ketika jerangkong itu mencoba memeluknya.
Ya, ini ayahmu, Nak. Ini ayahmu, Said...kata si jerangkong sambil menangis.

Ikhsan tercenung. Segera saja pikirannya berkata, kalau keadaan ayahnya seperti itu, beberapa hari lagi pastilah akan mati. Karena itu dia yakin, itulah pertemuannya yang pertama dan terakhir dengan ayahnya dalam status sebagai tahanan. Rupanya si ayah dibawa ke rumah sakit dari Penjara Cikalsari, penjara besar di Pekalongan yang ketika itu menampung ribuan orang tahanan politik. Penjara itu dikenal sebagai penjara maut di mana orang datang dalam keadaan hidup dan keluar sudah tak bernyawa lagi.

Dan itu pulalah yang dirasakan Ikhsan, bocah kecil klas 4 SD ketika berhadapan dengan si jerangkong yang dicintainya. Rupanya setelah diseret dari rumahnya seperti kambing itu, kemudian Said dibawa ke tempat penahanan sementara di Kajen dan sebulan kemudian dibawa dan dijebloskan ke Penjara Loji Pekalongan. Selanjutnya dipindahkan lagi ke penjara maut Cikalsari itu. Ayahnya menjadi jerangkong karena hampir-hampir tidak pernah diberi makanan. Pernah empat hari total hanya minum air saja. Dalam kondisi rentan itu Said masih dipukuli dengan kursi, popor senjata dan juga oleh teman-temannya sesama tahanan yang dipaksa untuk memukulinya.

Prinsipnya, ayah saya harus mengakui sebagai anggota PKI. Dia disuruh membaca berita acara dan menandatanganinya. Bagaimana mungkin orang buta huruf bisa melakukan hal itu?

Sekitar setahun kemudian, Said dibebaskan. Dia pulang sendirian dari Pekalongan sampai di rumahnya di Kalijoyo Kajen. Dia sempat memesankan kepada Ikhsan bahwa dirinya tetap tak bersalah, tak terlibat pemberontakan apa pun. Dulu, sebagai petani utun, Said memang suka membantu siapa pun yang minta bantuan, berupa uang sekadarnya. Termasuk membantu mereka yang kemudian dituduh terlibat gestapu. Dari jalur inilah Said diringkus dan distempel terlibat gestapu. Stempel itu tetap melekat meskipun Said sudah bebas dari penahanan dan hidup di zaman reformasi. Bahkan sampai dia meninggal dunia pada bulan Ramadhan 2007 yang lalu.

Menang tapi Kalah

Bagaimana nasib Ikhsan? Dia dapat meneruskan sekolahnya hingga lulus SD dan masuk di sebuah SMP di Kajen. Tentu, tetap dengan menyandang stempel anak pki, Setiap hari dicaci dan dimaki mulai oleh teman-teman sendiri hingga para gurunya. Yang selalu didengar Ikhsan adalah bahwa keluarga pki harus dihabisi sampai ke akar-akarnya. Toh Ikhsan akhirnya bisa lulus SMP dan melanjutkan pendidikan di sebuah STM di Tegal. Untuk menyambung biaya hidup sehari-hari dia berjualan koran di terminal bis Tegal sampai tamat pendidikannya. Bahkan dia kemudian bisa kuliah di Tegal dan mendapat gelar sebagai sarjana ilmu pemerintahan.

Dia bekerja di Kantor Dinas Sosial Pemerintah Kabupaten Pekalongan. Meskipun sudah bertitel sarjana, namun kedudukannya tetap saja tidak berubah. Tidak pernah naik pangkat dan tetap terkucil. Ini terasa sekali ketika Ikhsan maju menjadi calon bupati Pekalongan dalam pilkada dan berhasil meraih suara terbanyak. Dia harus mundur karena kemudian muncul stempel dirinya tidak bersih lingkungan sebagai anak pki di mana ayahnya pernah menjadi tapol. Dan calon bupati itupun gagal menduduki kursi sebagai bupati Pekalongan.
Saya ingin bicara pada dunia mengenai nasib anak bangsa ini...


Sumber: http://groups.yahoo.com/group/nasional-list/

Artikel Terkait